Moga terhibur aja deh baca ini cerpen, atau jangan-jangan malah tidur lagi sakin boringnya...
Yooo weesssssssss..............
Cekiddoootttttttttt,...................
LOVE
STORY
Ini
kisah ku. Kisah hidupku yang tak sempurna.
Aku
hanya seorang gadis biasa yang memiliki sejuta keinginan dalam hidup.
Aku ingin bahagia. Hanya itu. Mungkin itu tak bisa terwujud. Huh....
mengapa aku bisa berkata kalau hidupku tak bahagia. Cuma ada satu
kalimat yang tepat mengungkapkannya. Kasih sayang orang tua. Walaupun
aku tak mendapatkan itu, aku tetap bersyukur karna masih ada
orang-orang disekitarku yang menyayangiku.
Namun
kasih sayang itu hanya ku rasakan sesaat. Tuhan terlalu sayang kepada
ku dan memberikan suatu kenyataan yang tak pernah tebayangkan olehku.
*
Pagi
hari. Aku mulai melakukan aktifitas ku sebagaimana biasanya yaitu
pergi kesekolah berjumpa sahabat-sahabat ku dan mendapatkan sedikit
kasih sayang disana.
“bi
mama sama papa mana ?” tanya ku seraya menuruni anak tangga.
“nyonya
sama tuan udah berangkat dari tadi pagi non, katanya ada meeting
mendadak di luar kota” ucap bi Minah pembantu ku.
Yap...
Papa dan Mama ku adalah seorang pebisnis handal yang tak diragukan
lagi kualitasnya. Namun karena kehandalannya itulah mereka jadi
jarang menemani anak sematawayang mereka. Aku adalah anak tunggal dan
itu membuatku kesepian setiap aku kembali mengijakkan kaki ku ke
rumah maha megah ini.
Cuma
bi Minahlah yang selalu menemani ku. Beliau telah bekerja di rumah ku
sejak aku kecil, jadi hingga aku dewasa hanya bi Minahlah memberikan
kasih sayang seorang ibu yang tak pernah kurasakan dari ibu kandungku
sendiri. Aku jadi curiga, apa aku sempat diberi ASI oleh ibu
kandungku ? Huh... Sudahlah tak perlu dibahas.
“oh,
ya udah deh bi aku langsung berangkat kesekolah ya” ucap ku kepada
pembantu kesayangan ku itu, kemudian melangkahkan kaki ku
meninggalkan dapur. Namun sesaat berhenti karna ucapan bi Minah.
“tapi
non belum sarapan, lebih baik sarapan dulu non baru kesekolah” ucap
bi Minah lagi.
Akupun
berbalik menghadap bi Minah dan kembali berjalan mendekatinya “aku
sarapan di sekolah aja bi nanti keburu siang” ucap ku sambil
tersenyum. Kemudian aku sedikit membungkukkan badan ku dan memeluk
erat bi Minah “aku sayang banget sama bibi. Makasih ya bi
perhatiannya” kata ku masih memeluk bi Minah.
“iya
non” ujar bi Minah pelan seraya mengelus pelan punggung ku.
Kemudian
aku kembali menegakkan badan ku dan berjalan keluar rumah menjumpai
pak Yadi supir pribadiku yang selalu Stand By mengantar ku kemana
saja yang ku mau.
*
Tak
lama akupun tiba disekolah dan menuju kelas ku. Baru saja aku
menjejakkan kaki ku di mulut pintu, teriakkan sahabatku langsung
mendobrak kendang telinga ku. Rasanya aku ingin langsung membasmi
manusia satu itu supaya tidak berteriak seenak jidatnya aja.
“VIIAAAA.....”
Aku
menghela napas pelan sambil menutup kedua telinga ku, dan sedetik
kemudian membalikkan badan ku menghadap orang yang meneriakkan
namaku.
“apaan
sih Shill, teriak mulu kerjaan loe” gerutu ku kesal sambil
melototkan mata ku kearahnya.
“wetss...
santai ngapa loe Vi, sensi amat pagi-pagi” ucap Shilla cengengesan
setelah berlari-lari ria mengejarku sampai kedepan pintu kelas ku.
“siapa
yang ga marah, tiap hari namanya terus diteriakkin. Ga nyante pula
tu” kesal ku sambil berjalan memasuki ruang kelas ku dan duduk di
bangku ku.
“yaelah
gitu aja sewot neng. Untung nama loe yang gue teriakkin bukan nama
pacar loe” ucap Shilla santai.
TUUKKK
Satu
jitakkan menggunakan Handphone sukses mendarat dikepala Shilla dengan
mulus.
“Adauuwwww...
Sakit gila. Gue tau loe orang kaya, jitak gue pake Handphone segala”
gerutu Shilla sambil menahan rasa sakit dikepalanya.
“makanya
ga usah bawa-bawa pacar gue loe”
“iya
iya... gue tau yang cinta mati sama Tuan Muda Sindhunata” ledek
Shilla yang masih mengelus pelan jidatnya.
“ape
loe katelah”
*
Bel
istirahat telah menggema beberapa menit yang lalu, semua manusia
penghuni SMA Visca High School berbondong-bondong menuju kantin minta
jatah makanan. Tak terkecuali aku.
Sekarang
aku dan Shilla tengah menikmati makanan kami dengan lahap. Terutama
aku yang sedari pagi belum sarapan.
“hey
Vi, makan kok ga ngajak-ngajak sich ?” ucap pangeran hatiku setelah
mendaratkan pantatnya tepat disamping ku.
“hehehehe...
Sorry. Gue laper banget, tadi ga sempat sarapan dirumah. Jadi pas bel
bunyi langsung ke sini aja” cengir ku sambil menolehkan kepala ku
ke arah Alvin. Pacar ku.
“iya
tu vin. Pacar loe gila banget. Belum juga bu Uchi keluar kelas dia
malah maen tarik tangan gue aja ke luar kelas. Untung bu Uchi
orangnya baik, jadi ga marah dia karna ada murid yang ga sopan sama
dia” ucap Shilla ga nyante.
Aku
hanya cengar-cengir gaje.
“dasar
anak bandel” ucap Alvin sambil mengacak pelan rambut ku.
“heh...
ga jual kacang ya disini” sewot Shilla melihat kemesraanku dengan
Alvin.
“makanya
cari pacar dong biar ga jual kacang terus” ledek ku kepada Shilla
yang sukses memanyunkan bibirnya.
“hahahaha....
Jelek loe Shill” tambah Alvin.
*
Sudah
hampir 15 menit aku menunggu Alvin di parkiran, namun orang yang
ditinggu-tunggu ga nongol-nongal juga. Huft... Mana sich tu orang,
akukan udah kayak orang ga jelas berdiri terus diparkiran.
Ga
lama Alvin datang menghampiriku dengan napas satu dua. Memang sih aku
liat dia tadi lari tunggang langgang menghampiri ku, jadi niatnya
pengen marah-marah jadi ga jadi dech karna liat mukanya yang
kecapekan habis lari-lari tadi.
“hhh...
Sorry vi tadi pak Duta manggil gue, makanya lama nyampek parkirannya”
sesal Alvin.
“iya
deh, gue tau yang kapten basket pasti sibuk ngurus tim basketnya”
ucap ku pelan dan memberikan sedikit nada jutek di tengah-tengah
kalimat.
“Sorry
deh, lain kali ga bakal terlambat lagi gue” ujar Alvin kini dengan
tampang melas.
“hahahaha...
ga papa kok Alvinku sayang, gue ngerti kok” ucapku sambil tertawa.
“yeee...
kirain loe marah sama gue”
“hehehe...
gue ga akan bisa marah sama loe”
“makasih
ya sayang” ujar Alvin sambil mendekat kearah ku dan ingin
memelukku.
“eitss...
masih dilingkungan sekolah. Ga boleh peluk-peluk” cegah ku.
“oh,
berati kalau diluar sekolah boleh dong” ucap Alvin sambil melirikku
jail.
‘Hadehh...
salah ngomong deh gue tadi. Jadi malukan gue sama ni anak’ batin
ku berucap sambil menundukkan kepalaku dan menyembunyikan wajah ku
yang pastinya udah kayak tomat.
“eehhh...
emm... ga gitu juga kali Vin”
“hehehehe....
iya.. iya.. ayo, ntar kesoreaan lagi” potong Alvin seraya menarik
tangan ku menuju mobilnya.
“emang
kita mau ke mana vin ?” tanya ku pada Alvin.
“adah
deh. Pasti nanti loe suka” kata Alvin sambil tersenyum manis kearah
ku dan melajukkan mobilnya.
Disepanjang
perjalanan terjadi keheningan diantara kami. Aduh... akukan paling ga
bisa diam-diaman kaya gini. Trus, tumben-tumbenan hening gini.
Biasanya juga rame. Ga biasanya deh.
Sekitar
40 menit kemudian Alvin memberhentikkan mobilnya di suatu tempat yang
sangat asing bagi ku. Kemudian Alvin turun dari mobilnya dan segera
memutar kemudian membukakan pintu untukku. Aku masih bingung kenapa
Alvin membawa aku ke sini. Dihadapan ku hanya terdapat semak-semak
tak terawat.
Aku
menahan tangan Alvin sebentar tanpa menatap Alvin “kita ngapain
kesini Vin ?” tanya ku bingung.
“udah
loe ikut aja. Pasti loe ga nyangka ada tempat begituan disini”
Alvin semakin membuatku penasaran.
Alvin
menarik tanganku perlahan melewati semak-semak itu, dan betapa
terkejutnya aku ada lapangan basket didaerah seperti ini dilengkapi
dengan suasana danau yang tenang di tepi sebelah kanannya.
Aku
berdecak kagum. Belum pernah ku lihat termpat seperti ini. Ya
walaupun lapangan basketnya sedikit tidak terawat dan danau yang
tepinya banyak berserakkan daun-daun kering yang berguguran, namun
tidak mengurangi keindahan ciptaaan Tuhan yang satu ini.
Ku
palingkan wajahku menghadap Alvin “loe tau dari mana tempat sebagus
ini ?” tanya ku.
“beberapa
minggu yang lalu gue ga sengaja jalan-jalan dekat sini sambil drible
bola basket gue, trus ga sengaja bolanya masuk ke dalam semak-semak
ini. Mulai dari situ gue tau ada tempat sebagus ini. Dan loe orang
yang pertama kali gue ajak kesini” jelas Alvin kepada ku.
Aku
sedikit mengenyitkan dahi, ngapain Alvin jalan-jalan sampai kesini.
Mengerti akan raut wajah ku yang berubah, Alvin kemudian menarik
tangan ku ke tepi danau.
“loe
liat rumah disana ?” tanyanya dan aku mengangguk “itukan rumah
oma gue, jadi lapangan basket ini dekat sama rumah oma gue”
jelasnya dan aku menganggukkan kepala ku mengerti.
Kemudian
Alvin mengambil bola basket yang entah dari mana asalnya “mau main
?” akupun mengangguk senang.
Aku
dan Alvin berjalan ketengah lapangan basket. Saling berhadapan,
kemudian kami mulai memainkan si kulit orange itu. Walaupun aku
kurang memahami permainan basket, aku tetap semangat mendrible bola
itu dan melemparkannya ke dalam ring.
Waktu
berjalan begitu cepat. Aku yang kelelahan langsung duduk ditengah
lapangan basket itu dan di ikuti oleh Alvin yang langsung memberikan
sebotol air mineral kehadapan ku seakan tahu apa yang ku butuhkan.
“capek
ya ?” tanyanya.
“banget”
“yaudah
yuk, kita duduk-duduk dipinggir danau itu. Kayaknya seru deh” ajak
Alvin dan aku hanya mengangguk mengiyakan ajakannya itu.
Kami
duduk berdampingan di bawah pohon. Aku menyenderkan kepala ku di
pundak Alvin, kemudian Alvin melingkarkan tangannya ke tubuh ku dan
menarikku ke dalam pelukkan hangatnya.
“gue
seneng banget hari ini vi bisa berduaan sama loe. Loe seneng ga ?”
tanyanya seraya mengelus pelan puncak kepala ku dan mengecupnya
sesaat.
Aku
hanya menganggukkan kepala ku menikmati setiap momen bersama orang
yang paling aku sayangi.
“gue
sayang banget sama loe vi” ujar Alvin kemudian melirikku.
Raut
wajah alvin seketika berubah kemudian memegang wajahku dengan keudua
tangannya.
“loe
kenapa vi ? kok pucat banget ? loe sakit ya ? kalau gitu kita
langsung pulang aja ya ?” panik Alvin ketika menyadari perubahan
pada wajah ku.
“gue
ga papa vin. Palingan Cuma kecapekan dong kok. Ga usah lebay deh”
ucap ku santai menanggapi kepanikkan Alvin.
“beneran
lo ga papa ?” tanyanya memastikan.
Memang
sih kepala ku sedikit berdenyut. Tapi begitu melihat kecemasan Alvin
ketika melihat ku, aku sedikit melupakan sakit dikepala ku dan
tersenyum melihat ke arahnya.
Kamipun
akhirnya pulang dan Alvin mengantarkan ku ke rumah. Sesampainya
disana aku langsung menyuruhnya pulang dan beristirahat.
*
Matahari
kembali menyinari bumi dan semua manusia memulai aktifitasnya seperti
biasa.
Aku
melihat jam weaker yang duduk manis di meja samping tempat tidurku.
Aku mencoba membangkitkan badan ku menuju kamar mandi namun badan ku
tak bergerak. Tubuhku lemas dan kepala ku semakin sakit. Aku tak tahu
apa yang tengah terjadi kepada ku.
‘apa
mungkin kerena kelamaan main basket jadi aku ga bisa bangun gini ?’
pikir ku.
Akupun
berusaha menggerakkan alat ucap ku memanggil bi Minah, namun butuh
perjuangan keras untuk bisa mengucapkanya.
“bii...
bii Minahh...” teriak ku pelan.
Bi
Minah belum juga datang ke kamar ku. Akupun mencoba sekali lagi
memanggil bi minah dengan suara yang lebih keras.
“bii...
bii Minah...” panggil ku lagi dan kini berhasil, terdengar sautan
dari bi Minah yang mungkin saat aku memanggilnya ia sedang berada di
lantai atas.
“iya
non sebentar”
Tak
lama pintu berdecit pelan menandakan seseorang tengah membuka pintu
kamar ku dan ku yakin itu bi Minah. Dan benar saja sekar bi Minah
telah berada tepat disamping kanan ku.
“iya
non... ada apa ?” tanyanya.
“bi
Via lemes banget. Kayaknya ga bisa ke sekolah deh bi” ucap ku
pelan.
“non
Via sakit. Aduh non, kenapa bisa sakit sih ?” bi Minah tampakknya
sangat khawatir terhadap keadaan ku.
Aku
hanya tersenyum kemudian berkata “aku ga papa kok bi, Cuma
kecapekan aja palingan”. Aku menghela napas sejenak “bi tolong
ambilkan Handphone aku dong di atas meja itu” ucap ku kepada bi
Minah.
Segera
bi Minah mengambil Handphoneku dan memberikkannya kepada ku “makasih
bi” ujar ku tersenyum.
“iya
sama-sama non. Kalau perlu apa-apa panggil bibi aja ya non” aku
hanya mengangguk dan kemudian bi Minah keluar dari kamar ku.
Ku
alihkan pandanganku ke arah Handphone ku dan mengetikkan beberapa
digid angka yang sudah ku hapal, tak lama terdengar suara sautan dari
seberang sana.
“halloo
Vi, loe dimana ? gue cari kekelas kok loe belum datang ? tumben
banget” cerocos Alvin.
Aku
tersenyum menanggapi kebawelan pacar ku ini “gue ga masuk kesekolah
hari ini Vin. Loe izinin gue ya” ucap ku dengan suara pelan.
“loe
sakit Vi ? kok ga bilang sih ? guekan bisa jagain loe ?” aku hanya
tersenyum.
“udah
loe sekolah aja. Gue ga papa kok, Cuma kecapekan aja” terang ku.
“yaudah
loe istirahat aja ya. Nanti pulang sekolah gue langsung ke rumah loe”
ucap Alvin.
Kemudian
aku menutup sambungan telpon ku dan mencoba memejamkan mata walau
susah karna sakit dikepala ku kian menambah.
*
CLEKK
Pintu
kamarku terbuka perlahan. Ku lihat Alvin memasuki kamarku dengan
menenteng sekeranjang buah-buahan. Aku tersenyum melihatnya.
“loe
kok bisa sakit sih Vi ? pasti gara-gara kemaren gue ngajakin loe main
basket deh, makanya loe sakit kayak gini” ucap Alvin setelah tepat
duduk disamping ku.
“enggak
kok, jangan nyalahin diri sendiri gitu dong. Akukan Cuma kecapekan”
ujarku pelan menatap Alvin.
“emm...
loe udah makan Vi ? udah minum obat ? trus tadi udah panggil dokter
kesini ?” tanya Alvin.
“nanya
itu satu-satu kali Vin” aku tersenyum sejenak “gue belum makan,
belum minum obat, juga belum panggil dokter. Hehehehehe” aku ku.
“aduh
Via, kenapa belum sih ?” Alvin menghela napas sebentar “yaudah
kalu gitu, loe sekarang makan udah gitu langsung gue antar loe ke
rumah sakit” ucap Alvin.
Aku
menggeleng “gue ga mau ke rumah sakit” tolakku.
“ck”
Alvin mendecakkan lidahnya pelan “oke kalau loe ga mau ke rumah
sakit, tapi loe harus makan. Loe tunggu disini jangan kemana-mana”
Alvin langsung meranjak dari kamar ku, tanpa ada persetujuan terlebih
dahulu dari ku.
Aku
hanya menggelengkan kepala ku perlahan melihat tinggkah kekasih ku
itu.
“nih...
gue udah bawa makanan kesukaan loe. Jadi loe harus makan sekarang.
Gue suapin deh” uajr Alvin sambil mengambil posisi duduk seperti
tadi.
“Aaa...”
akupun membuka mulut ku dan mengunyah makanan itu perlahan.
“loe
harus makan biar cepat sembuh, kalau udah sembuhkan bisa kesekolah
lagi. Trus jumpa deh sama pangeran Alvin yang ganteng ini” ujar
Alvin narsis.
TOIINGGG
Satu
toyoran mendarat tepat dijidat Alvin. Ia pun mengaduh pelan seraya
mengelus kepalanya yang menjadi sasaran toyoran ku.
“sakit
tau”
“loe
sih, pake narsis-narsisan segala”
“hehehehe....
sekali-sekalikan ga papa Vi” Alvin nyengir dan akupun ikut
tersenyum melihat ulahnya.
*
“Auwww”
rintihku pelan dan sedetik kemudian tanganku memegangi kepalaku yang
berdeyut hebat.
Sudah
kesekian kalinya kepalaku sakit. Dan sakit itu semakin lama semakin
menjadi, dan akupun tak sanggup lagi menahanya. Tangankupun meraih
meja yang tak jauh dari ku. Memegangnya erat sambil merintih
kesakitan. Aku menggigit bibir bawahku untuk mengurangi sedikit rasa
sakitnya. Lama kelamaan pandanganku mengabur dan gelap.
*
Mataku
mengerjap perlahan, menyapu seluruh ruangan yang asing bagi ku.
Putih. Itu yang kulihat. Seketika aroma zat-zat kimia
berbondong-bondong masuk kedalam indera penciuman ku dan aku tahu ini
dimana.
Yap...
aku sekarang berada di sebuah ruangan yang pastinya ruang rawat
sebuah rumah sakit. Kemudian kepalaku bergerak kesebelah kananku dan
kutemukan seseorang yang sangat ku kenal.
Aku
mengangkat tangan kiri ku yang bebas dan mengelus perlahan puncak
kepalanya. Mungkin gerakan tanganku tadi sedikit mengganggunya. Dan
terbukti matanya mengerjap dan melihat kearahku.
“ehhmm....
loe udah sadar Vi ?” aku tersenyum mengangguk.
“kenapa
gue bisa disini Vin ?” tanya ku dengan suara serak.
“tadi
pagi bi Minah nelpon gue, katanya loe pingsan. Yaudah gue langsung
aja datang ke rumah loe” jawab Alvin seraya mengelus pipiku lembut.
“jadi
loe ga sekolah dong ?” tanya ku dan Alvin menggeleng pelan sambil
tersenyum.
“guekan
mau nungguin loe siauman Vi, makanya gue izin aja dari sekolah.
Hehehe”
Dasar
Alvin pasti seneng tuh hari ini ga masuk kelas. Aku tau hari ini ada
pelajaran Fisika, pelajaran yang paling tidak disukainya. Tapi kenapa
ia memilih jurusan IPA. Ckckckckc dasar Alvin aneh.
“oya
Vi, loe kok bisa tiba-tiba pingsan sih ? loe sakit apa ?” tanya
Alvin.
“gue
juga ga tau Vin. Emang sih akhir-akhir ini kepala gue sering pusing,
tapi baru kali ini sampe pingsan” jelas ku kepada Alvin.
“loe
udah pernah cek ke dokter ?” aku menggeleng.
“dasar,
males banget sih kalau udah disuruh ke dokter” aku hanya nyengir
menaggapinya.
“eh
Vi, tadi dokter nanyain orang tua loe tuh. Katanya ada yang pengen
diomonginnya sama orang tua loe, trus gue jawab aja kalau orang tua
loe lagi di luar kota jadi ga bisa datang kesini” raut wajahkupun
berubah.
“loe
kenapa Vi ?” cemas Alvin “ada yang sakit ? kepala loe pusing lagi
? gue panggilin dokter ya ?” tanya Alvin semakin cemas.
Air
matakupun menetes perlahan membasahi pipiku.
Alvin
semakin bingung “aduh Vi, kok loe nangis sih ? gue panggil dokter
bentar ya, loe tunggu disini” ujar Alvin dan melangkahkan kakinya
menuju pintu.
Belum
sempat kakinya melangkah meninggalkanku, aku menahan pergelangan
tangannya. Alvin memballikkan tubuhnya dan melihat kearahku.
“gue
kangen orang tua gue Vin” ucapku akhirnya setelah beberapa menit
tak mengucapkan sepatah katapun.
Alvin
kemudian mendekat kearahku dan memelukku erat, akupun membalas
pelukkannya.
“iya
gue tau. Lagiankan orang tua loe itu ninggalin loe itukan untuk
kerja, dan itu untuk loe jugakan” aku mengangguk pelan.
“tapi
Vin, mereka tuh udah hampir ga pernah ada waktu buat gue. Bahkan
nanyain kabar gue aja enggak” aku semakin terisak.
Alvin
semakin mengeratkan pelukkannya “loe sabar ya. Mungin mereka lagi
sibuk” bela Alvin.
“sesibuk
apa sih mereka, sampai tega ngabaiin gue. Anak mereka sendiri ? apa
gue ga ada artinya ya sama mereka ? guekan kangen sama mereka. Dari
kecil gue Cuma berdua aja sama bi Minah” aku mengeluarkan seluruh
unek-unekku kepada Alvin “guekan butuh kasih sayang dari orang tua
gue. Gue butuh kasih sayang yang utuh. Gue ga butuh harta, gue ga
butuh ketenaran, gue Cuma butuh orang tua gue. Cuma itu. Gue Cuma
butuh kasih sayang dari orang tua gue. Emang sulit ya, ngasih sedikit
perhatian mereka ke gue ? huhh...” aku semakin terisak dalam
pelukan Alvin.
Alvin
mendengarkan semua unek-unek ku sambil mengelus pelan kepala ku,
“mereka itu sayang kok sama loe. Loe ga boleh berperasangka buruk
gitu dong. Ga baik tau. Yaudah kalau gitu, loe istirahat aja. Ga usah
fikirin lagi. Oke “ ujarnya seraya melepas pelukannya dan menatap
kedua bola mata ku. Akupun menangguk.
‘gue
akan selalu ada disamping loe Vi, gue ga akan tinggalin loe. Karna
gue sayang sama loe. Sayang banget malah’ batin Alvin tersenyum.
Aku
kemudian berbaring di tempat tidur ku dan mencoba memejamkan mata ku
sambil menggengam erat jemari Alvin. Perlahan tapi pasti Alvin
mengelus puncak kepala ku dan sesekali mengecup punggung tangan ku.
*
Yeeeeee....
akhirnya aku sekolah lagi. Udah kangen nih sama sekolah tercinta. Ya
walaupun dirumah sakit Cuma dua hari, tapi seperti dua bulan rasanya
ga sekolah. Oke mungkin terlalu berlebihan, tapi itu yang ku rasakan.
“pagi
Shilla...” sapa ku pada sahabatku yang satu ini.
“eh
Vi, loe udah sembuh ?” tanya Shilla “sorry ya gue ga bisa jenguk
loe dirumah sakit. Soalnya kemaren pak Dave ngasih gue tugas bejibun.
Mentang-mentang gue sekertaris OSIS, jadi dia seenaknya aja ngasih
gue tugas segitu banyak. Padahalkan masih ada anggota OSIS lain yang
bisa gantiin gue ngerjain tu tugas, dasar pak Dave ga senang liat
orang senang” aku melengos mendengar celotehan Shilla yang ga
putus-putus, seakan mengerti perubahan raut wajah ku Shilla nyengir
sambil berkata “Sorry ya, gue keterusan. Hehehehe” akupun Cuma
bisa geleng-geleng kepala.
“berhubung
gue cantik, oke loe gue maafin”
“yeee...
ga nyambung bego”
“biarin
wekk” ujarku seraya menjulurkan lidah ku.
*
Aduh
sebenarnya aku sakit apa sih ? kenapa pusing di kepalaku kembali lagi
dan kali ini bertambah parah. Aku mengerjapkan mataku sejenak sambil
menggelengkan pelan kepalaku. Aku merasakan sesuatu mengalir di
hidungku, perlahan tanganku meraba bagian hidung ku dan betapa
terkejutnya aku ketika di tangan ku terdapat bercak darah.
Aku
segera berlari kekamar mandi sekolah dan membersihkan bercak darah
itu. Ku ambil air untuk membersihkan darah yang masih mengalir dari
kedua lubang hidung ku, setelah bersih akupun memandang pantulan
wajah ku di cermin.
‘sebenarnya
aku kenapa sih ? kok bisa keluar darah sih dari hidung ku ?’ akupun
bertanya-tanya dalam hati. Penasaran.
*
Kakikku
melangkah pelan menuju ruang dokter yang beberapa waktu lalu telah
mengambil sample darah ku untuk diteliti. Akupun menguatkan hatiku
untuk mengetuk pintu ruangan dokter itu.
Tokk...
Tokkk... Tokkk....
“masuk”
terdengar teriakkan dari dalam ruangan tersebut.
“em...
dok gimana hasil pemeriksaannya udah keluar ?” tanyaku gugup.
“sembelumnya
saya mau tanya” akupun mengangguk pelan “anda kesini dengan siapa
? apakah orang tua anda tidak ikut menemani anda ?” aku menggeleng
pelan.
“mereka
sibuk dok. Mereka ga sempat menemani saya kesini. Sebenarnya saya
kenapa dok ? kok sepertinya serius sekali ?” tanyaku penasaran.
“em...
saya harap anda bisa sabar mendengar penjelasan saya nanti” akupun
mengangguk cepat.
Kemudian
dokter itupun menarik napas sejenak dan menyerahkan sebuah amplop
kepada ku. Aku mengenyitkan dahi kemudian melihat kearah dokter itu.
Ia mengangguk dan secara perlahan aku membuka amplop tersebut.
Tubuhku
bergetar ketika membaca isi amplop itu. Air mataku menetes dengan
derasnya. Seketika itu kertas hasil laboratorium itu terjatuh.
Tanganku lemas, seakan kertas tadi bertambah berat beribukali lipat.
“anda
yang sabar, semua pasti ada hikmah dibalik semua cobaan yang Tuhan
berikan kepada kita. Tuhan takkan memberikan cobaan kepada umatnya
melampaui batas kemampuan umat manusia. Saya yakin anda orang yang
Tabah” Ucap sang dokter menenangkan.
“terima
kasih dok” ujar ku pelan seraya meninggalkan kantor dokter itu.
Pikiranku
kacau sekacau-kacaunya. Aku menghapus kasar air mata ku dan menuju
parkiran menemui supir ku dan kembali pulang kerumah.
Sepanjang
perjalanan aku hanya termenung. Pandangan ku kosong keluar jendela.
Seakan mengetahui perubahaan terhadap diriku, pak Yadi memberanikan
bertanya.
“non
Via kenapa ? kok ngelamun gitu ?” tanyanya khawatir.
Aku
terkisap dari lamunan ku kemudian memandang ke arah pak Yadi yang
sedang menyetir “aku ga papa kok pak, Cuma lagi kangen sama mama
dan papa aja” elakku.
Pak
Yadipun mengangguk mengerti dan keheningkan kembali terjadi hingga
sampai di rumah.
*
Pagi
ini aku datang kesekolah dengan suasana hati tak menentu. Pikiranku
melayang-layang entah kemana. Tak tahu kenapa tiba-tiba aku menambrak
seseorang, mungkin karna fikiranku yang kurang fokus.
“eh
sorry sorry gue ga sengaja” akupun langsung minta maaf kepada orang
yang ku tabrak barusan tanpa melihat siapa orangnya.
“Vi
loe kenapa sih kok bisa nabrak gue gitu ?”
Ahh...
aku mengenal suara ini. Alvin, ini suara Alvin. Akupun mendongakkan
kepalaku melihat ke arahnya. Terlihat jelas raut wajah Alvin yang
menunjukkan keheranan.
“eh
Alvin... gue ga papa kok” dalih ku namun Alvin tak mudah percaya.
“yakin
loe ga papa ? kayaknya loe kenapa-kenapa deh Vi” tanya Alvin lagi
“trus muka loe kenapa kok pucat gitu ? loe sakitnya ?” tanya
Alvin kesekian kalinya sambil meletakkan punggung tangannya kekening
ku.
Aku
menampik pelan tangannya “gue ga papa Vin, yakin deh sama gue”
ujarku lagi meyakinkan.
“Yaudah,
kalau ada apa-apa loe langsung panggil gue. Oke” ucap Alvin. “kalau
gitu, yuk gue antar loe sampe kelas loe” aku pun menganggukkan
kepalaku.
*
Kali
ketiga hidung ku mengeluarkan darah segar dalam seminggu terakhir
ini. Lama-kelamaan tubuhku menyusut dan aku mulai takut. Aku takut
meninggalkan orang-orang yang ku sayangi. Terlebih Alvin.
Aku
mengusap pelan darah yang mengalir dari hidungku namun tak jua
berhenti. Rasa pusing yang sangat kini mendera kepalaku lagi. Dan
kali ini lebih sakit dari yang kemaren-kemaren. Tak lama tubuhku
limbung dan tak sadarkan diri.
*
Huffttt.....
Rumah sakit aku sudah hapal baunya. Aku mengerjapkan mata ku pelan
dan terdengar suara Alvin ditelinga ku.
“Vi
loe udah sadar ? gue panggil dokter dulu ya” aku mengangguk.
Tak
lama dokter datang menghampiriku disusul dengan Alvin dibelakangnya.
Dokter menghela napas pelan dan menggeleng.
“bagaimana
keadaan Via dok ?” tanya Alvin.
“keadaan
suadara Via semakin memburuk. Penyakit itu berkembang sangat cepat
dan itu diluar dugaan saya” Alvin bingung dengan perkataan dokter
itu.
“kalau
begitu saya keluar dulu, dan sebaiknya saudara Via beristirahat saja.
Jangan terlalu memforsir tenaga anda” akupun mengangguk lemah
kemudian dokter itu beranjak meninggalkan aku dan Alvin.
Alvin
berjalan menghampiriku. Wajahnya terlihat sangat bingung dengan
perkataan dokter barusan. Aku mencoba tersenyum kearah Alvin dan
meraih tangannya lembut.
“sebenarnya
kamu sakit apa sih Vi ? jangan buat aku khawatir dong” tanya Alvin.
“maaf
ya Vin aku nyembunyiin ini dari kamu. Sebenarnya aku mengidap Kanker
Otak stadium akhir, dan umurku ga akan lama lagi” ucap ku berusaha
tegar.
Bagaikan
petir disiang bolong, kenyataan itu membuat Alvin menggeleng tak
yakin.
“ga,
ga mungkin. Kamu bercandakan Vi. Jawab dong Vi. Loe bercandakan, yang
loe bilang tadi ga benerkan ?” aku berusaha tersenyum walau setetes
air mata mengalir dipipiku.
“sayangnya
itu ga bercanda Vin. Itu semua kenyataan Vin” ucapku menegaskan.
Seakan
tak siap menerima kanyataan ini Alvin terduduk lemas di kursing
samping tempat tidur ku. Tetes demi tetes air mata jatuh dari bola
matanya. Aku mencoba meraih wajah Alvin dan mengahapus butiran air
itu.
“jangan
nangis dong. Masa pacarnya Via nangis sih, ga gentle banget deh”
ledek ku mencoba menenagkan suasana yang ada.
“kamu
jangan nangis ya sayang. Aku butuh dukungan kamu. Liat aku dong aku
aja ga nangis kok, masa kamu yang nangis sih” ujar ku lagi.
Kuraih
perlahan kedua tangan Alvin. Menguatkannya. Alvin kini menatapku,
kedua mata kami saling beradu dan detik kemudian tercipta senyum
manis di wajah tampan Alvin. Akupun ikut tersenyum melihatnya.
“kamu
yang sabar ya sayang. Aku akan selalu ada di samping kamu sampai
kapanpun” alvin menarik pelan tubuhku dan memelukku erat.
Aku
hanya bisa mengangguk pelan dalam pelukannya.
*
Kondisiku
semakin memburuk dan Alvin masih setia menemaniku. Ia selalu datang
setiap pulang sekolah dan tak jarang meminta kepadaku untuk
menemaniku hingga esok pagi menjelang.
Siang
ini Alvin datang menjengukku kerumah sakit dengan membawa seikat
tulip putih ditangannya. Senyum selalu mengembang dibibir manisnya.
‘pasti
Via suka’ batinnya.
Semakin
lama langkahnya semakin cepat. Kini Alvin setengah berlari menuju
ruang rawat ku ketika beberapa perawat berlari menghampiri kamar ku.
Alvin semakin cemas hingga tak sadar tengah menjatuhkan seikat tulip
putih itu.
Alvin
kemudian menahan salah seorang suster dan bertanya “pasien kenapa
sus ? Via kenapa ?” panik Alvin.
“pasien
kritis. Maaf mas saya harus masuk”
Kaki
Alvin seakan tak sanggup menahan bobot tubuhnya sendiri dan terduduk
lemah dilantai seraya memanjatkan doa untukku.
Tak
lama dokter keluar dari ruang rawatku dengan raut wajah yang susah
diartikan. Alvin menghampiri dokter tersebut.
“via
ga papakan dok, dia baik-baik ajakan dok ?” tanya Alvin cemas.
Dokter
menggeleng pelan seraya berkata “kami tidak dapat melakukan banyak
hal. Sekarang kita hanya dapat menyerakan semuanya ke tangan Tuhan.
Permisi” dokter itupun kemudian berlalu dari hadapan Alvin.
Kemudian
Alvin berjalan dan membuka pintu, lalu masuk ke dalam ruangan itu dan
menjumpaiku. Aku tersenyum miris melihatnya.
“Vin
apa kata dokter tadi ? udah ga lama lagi ya ?” tanya ku dengan
suara bergetar.
“suitttt....
Jangan ngomong sembarangan. Kamu ga akan kemana-mana, kamu akan tetap
disini. Selalu disini sama aku” ujar Alvin lalu meneteskan air mata
dan langsung di hapusnya dengan kasar.
“Vin,
aku punya permintaan terakhir sama kamu. Dan aku ingin kamu
mengabulkannya” Alvin mengangguk.
“kamu
mau apa ? pasti aku kabulin. Dan jangan pernah kamu ucapkan kata-kata
terakhir sama aku, aku ga suka kamu ngomong kaya gitu” ucap Alvin.
Aku
tersenyum “aku ingin kelapangan basket dekat rumah oma kamu itu.
Aku pengen kesana” alvin langsung merubah ekspresi wajahnya dan
segera ku sambung lagi perkataan ku “pleasee.... aku mohon sama
kamu” ucapku memohon.
“tapi
Vi, apa dokter mengizikan?” tanya Alvin ragu.
“dokter
pasti ngizinin” aku meyakinkan.
“oke
aku akan antar kamu kesana, tapi kamu harus berrjanji satu hal sama
aku. Kamu harus janji ga akan kenapa-kenapa saat disana” aku hanya
tersenyum menanggapi permintaan Alvin.
*
Alvin
sukses mendaratkanku tepat dipelukkannya sesaat setelah kami sampai
dan duduk ditepi danau itu. Aku memandang danau itu dengan senyum
merekah.
‘huhhh...
mungkin ini kali terakhirnya aku menginjakkan kaki ku didanau ini,
dan mungkin juga kali terakhir aku merasakan hangatnya pelukan Alvin.
Kekasihku. Tuhan sepertinya aku belum seiap meninggalkan semua ini,
aku belum sanggup melihat orang yang ku sayang menangis karena ku.
Aku belum siap menghadapi ini semua Tuhan’ batin ku terus berucap.
‘namun
disatu sisi aku sudah ga sanggup lagi menahan sakit ditubuhku ini,
aku ingin cepat-cepat datang menghampirimu Tuhan’ ucapan batin ku
terpotong karna sakit dikepala ku kembali mendera kepala ku. Sakit
sekali.
‘Tuhan
jika memang ini saatnya kau memanggilku, aku ingin kau selalu menjaga
orang-orang yang ku tinggalkan. Aku ingin kau memberi mereka kekuatan
untuk menerima kepergian ku. Aku mohon kepada mu Tuhan’ doaku pada
Tuhan dalam hati.
“Vi...
kamu ga papa kan ?” tanya Alvin memecah keheningan diantara kami.
Aku
menggeleng lemah kemudian berucap “Vin...” panggilku pelan.
“hmmm...”
“kalau
nanti aku pergi...” ucapanku terpotong oleh Alvin.
“akukan
udah pernah bilang kalau aku ga suka kamu bicara kayak gitu” sergah
Alvin.
Aku
tersenyum “jangan potong omongan aku please. Dan mungkin ini saat
yang tepat untukku mengungkapkan semuanya. Aku mohon Vin” mohon ku
pada Alvin.
Alvinpun
mengangguk terpaksa dan aku tersenyum lagi.
“Vin,
kalau aku pergi nanti kamu jangan nangis ya. Kamu ga boleh lemah.
Oke” aku menghela napas sejenak dan meneruskan kembali kata-kata
ku.
“Vin,
aku sayang banget sama kamu. Nanti kalau aku udah ga ada, kamu harus
cari penggantiku ya. Harus yang lebih baik dan lebih cantik dari aku
trus kamu harus sayang sama dia seperti kamu sayang sama aku. Kamu
bisakan Vin penuhi permintaan aku ?” tanya ku dan Alvin mengangguk
dan setetes air mata jatuh ketangan ku dan ku tahu itu air mata
Alvin.
Aku
merintih pelan dan ku rasa Alvin mendengar rintihan ku itu “kamu
kenapa Vi ?” tanyanya.
Aku
menggeleng “aku ga papa kok. Oya Vin, nanti kamu jangan lupain aku
ya. Trus kamu kirimin salam ku buat Shilla, bi Minah, pak Yadi juga
kedua orang tua ku. Bilang ke mereka aku sayang banget sama mereka”
aku berhenti sebentar.
“Vin...
aku mau tidur, aku capek” ucapku pelan hampir seperti bisikan.
“kamu
jangan tidur Vi. Jangan. Aku mohon” pinta Alvin.
“Vin
kamu harus bahagia ya walau aku ga lagi disamping kamu. Kamu harus
bahagia” ujarku pelan “kamu harus janji sama aku, kamu harus
bahagia tanpa aku” ku rasakan Alvin menganggukan kepalanya pelan.
“iya
Vi, aku janji” aku tersenyum.
“kalau
gitu aku udah tenang ninggalin kamu” ucap ku lagi sambil memegangi
kepalaku.
“Vin,
aku tidurnya” sambungku lagi.
Semakin
lama Alvin merasakan dinginnya tubuhku. Dan ia sudah tahu aku telah
pergi meninggalkanya. Alvin semakin mengeratkan pelukkannya dan
menangis terisak.
‘aku
janji Vi, aku janji sama kamu kalau aku akan bahagia. Aku akan
buktikan semua janji aku’ batin Alvin seraya mendongakkan kepalanya
menghadap langit.
“tunggu
aku disana Vi, aku pasti akan datang dan kita akan kembali seperti
semula lagi” gumam Alvin pelan seraya menarik sedikit sudut
bibirnya.
END
0 komentar:
Posting Komentar