cerita ini merupakan cerita paling kagak jolas :D
Trus karna berhubung saya lagi kurang kerjaan, di post aja deh. Mau jelek, ancur, berantakan yang penting saya happy *kagak nyambung :P
Cekidoooottttttttttttt.................
STORY OF MY LIFE
Mataku menerawang jauh kedepan. Memandang
lurus-lurus. Fikiranku melayang entah kemana. Sesekali aku tersenyum dan tak
jarang aku memurungkan raut wajahku. Jika seseorang melintas didepanku pasti
mengira aku mengidap gangguan jiwa. Namun sayangnya itu takkan terjadi, karna
sekarang aku berada didalam kamar ku. Maka takkan ada yang berperasangka
seperti itu kepada ku.
Tanganku sedari tadi tak henti-hentinya
memetik senar gitar. Aku tak tahu lagu apa yang ku mainkan. Aku hanya mencari
nada-nada harmonis disetiap petikkannya dan menciptakan rasa nyaman ketika
mendengarnya.
Tanganku mulai lelah dan aku meletakkan
gitar itu disampingku, kemudian beralih menatap ponselku. Dengan lincah
jari-jariku bergerak sesuai keinginannya. Namun tak ada yang menarik
perhatianku. Kemudian pandangan ku jatuh ke sebuah album foto. Dengan gerakkan
cepat tanganku menyambar album foto itu. Foto lama ketika aku masih duduk
dibangku SMA.
Aku tersenyum memandangnya. Benar kata
orang-orang. Masa SMA adalah masa yang sulit dilupakan. Masa-masa yang
memberikan begitu banyak warna bagi yang merasakannya. Tak terkecuali aku.
Sempat aku menolak pernyataan itu. Aku tak bahagia ketika pertama kali
menginjakkan kakiku di bangku SMA. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa
dan menikmati semua masa SMA ku. Dan sekarang apa yang terjadi? Aku ingin
kembali kebangku SMA.
Ku buka salah satu foto saat pertama kali
aku menginjakkan kaki ku di bangku SMA. Didalamnya terdapat dua anak manusia
yang berpenampilan aneh. Eitt... tunggu, maksudku salah satu diantaranya. Dan
aku sempat terkekeh pelan melihatnya.
*
Hari pertama masuk SMA. Aku benci dengan
ritual semua SMA yang melakukan sesuka hati mereka untuk mengerjai junior
mereka. Ya, walaupun dalam konteks formal. Tapi aku tetap tak suka itu.
“MAAAA................”
Teriakkan ku menggema disetiap sudut
ruangan di dalam rumah ku. Bagaimana tidak kesal. Sejak kemarin aku berpesan
kepada mama ku untuk membelikan jengkol dan pete di pasar, namun hingga
sekarang kedua benda itu tak muncul-muncul. Hufftt..... kenapa harus kedua
benda menjijikan itu sih? Aku tak suka baunya.
“ada apa sih sayang? Mama dibawah nih, lagi
nyiapin sarapan kalian” mamakupun ikut berteriak.
Kakikupun bergegas menuruni anak tangga dan
menghampiri mamaku di meja makan.
“jengkol sama petenya mana ma? Kok ga
ditarok dikamarku sih? Mama jadi belikan kemaren dipasar?” tanya ku to the
point.
“kamu itu ya, marah-marah mulu. Itu mama
lagi suruh mang ujang naliinnya. Kamu bilangkan mau dibuat jadi kalungkkan?”
mamaku berucap tanpa memberhentikan aktifitasnya menyiapkan sarapan.
“hehehehe.... aku kira mama lupa” aku
nyengir mendengar penjelasan mama ku.
“yaudah sekarang kamu sarapan, ntar kamu
telat lagi MOSnya. Kan
dandanan kamu udah persis seperti penghuni RSJ, jadi sayang dong ga jadi ke
sekolahnya. Pamer siapa yang paling mirip” ledek mama ku.
“iss... mama. Tega banget anaknya diledekin
begitu” gerutuku.
“hahaha.... maaf deh sayang. Udah cepetan
habisin sarapannya” suruh mama ku.
Tak lama sarapankupun telah berpindah
tempat menjadi kedalam perutku. Akupun langsung bergegas kesekolah setelah
meminta kalung yang terbuat dari jengkol dan pete itu dari mang ujang.
Hadeehhh....... ga tega aku mengalungkannya dileher nan indahku ini.
Sesampainya di sekolah, kami para murid
baru di bariskan dilapang untuk pembukaan MOS. Aku sama sekali tak tertarik
memperhatikkan para senior yang bercuap-cuap ga jelas didepan sana sambil tebar pesona tentunya. Kapan lagi
coba tebar pesona sama junior kalau ga sekarang.
Selama MOS berlangsung tak sedikit siswa
yang dikerjai, malah kalau bisa ku simpulkan, semua peserta MOS dikerjai
habis-habisan sama kakak-kakak senior. Tak terkecuali aku. Aduh.... pengen deh
ku pites nih kakak-kakak seniornya. Seenaknya aja nyuruh-nyuruh juniornya. Tapi
apa mau dikata memang udah itu hukumnya.
“hey kamu?” panggil seorang kakak senior.
Aku yang ga ‘ngeh’ tetap stay ditempat.
“hey kamu dengar saya tidak sih?”
panggilnya lagi.
Dan aku baru menyadari kalau aku yang
dipanggil. Dengan langkah berat aku melangkahkan kaki ku meninghampiri kakak
senior yang memanggilku tadi. Sesampainya disana aku langsung disemprot sama
kakak seniornya. Kalau bukan karna dia kakak senior udah ku piting kali tu
orang.
“kamu budek ya? Dipanggil-panggil ga
nyaut-nyaut” aku masih diam, tak menyaut.
“cantik-cantik budek, kasian banget loe.
Sekarang kamu ikut saya” dengan diam seribu bahasa aku mengikuti kakak senior
satu ini.
Lama aku berjalan mengikutinya, kenapa tak
sampai-sampai juga. Emangnya aku mau dibawa kemana sih sama ni orang.
Ku lihat banyak cewek-cewek histeris ketika
kakak senior itu lewat. Yap, memang ku akui
kalau kakak yang satu ini memiliki wajah yang tampan. Tapi untuk apa punya
tampang cakep kalau aneh. Gimana ga aneh coba, dari tadi jalan kok ga
nyampek-nyampek juga. Emangnya dia mau nyuruh aku ngapain sih? Murtein ni
sekolah? Huh....
Bosan sedari tadi melangkahkan kaki tak
tahu tujuannya, akhirnya ku beranikan diriku bertanya kepada kakak senior yang
aneh bin ajaib ini.
“ehmm ka...” kakak itupun menoleh sejenak
kearah ku kemudian menghadap kedepan kembali tanpa memberhentikan langkahnya.
Aku melengos kesal ‘Huh.... sabar’ batin
ku. kemudian kembali ku gerakkan alat ucapku “ka, emangnya kita mau kemana sih?
Dari tadi kok ga nyampek-nyampek? Kakak mau nyuruh aku muterin ni sekolah?”
ceplosku akhirnya.
Kakak senior –yang tak ku tau namanya- itu
tersenyum kemudian memberhentikan langkahnya “sekarang udah sampe” ucapnya.
Tak sadar atau bagaimana, aku tengah berada
di tengah taman yang menurut penglihatan ku lumayan indah dan terawat. Aku
sempat melongo memandang taman ini dan seketika terpecah ketika suara kakak
senior itu mengngagetkan ku.
“hello... are you here?” kakak senior itu
melambaikan tangannya tepat dihadapan wajahku.
“eh... iya ka” gugupku.
Kakak senior itu tersenyum. Dan baru ku
sadari senyumnya manis sekali dan mengingatkkan ku pada seseorang yang sangat
kurindukan.
“loe ga papakan via?” tanyanya.
Aku mengenyitkan dahi ‘kenapa dia tau nama
gue?’
Kembali kakak senior itu tersenyum dan
melanjutkan kata-katanya “loe beneran udah lupa gue? Tega banget sih loe”
ekspresinya berubah menjadi cemberut.
Aku hampir saja terkekeh melihat
ekspresinya, seperti anak kecil yang merengeng minta dibelikan permen namun
tidak diberikan oleh orang tuanya. Kurang lebih begitu.
“hmm.... maaf ka. Aku beneran ga tau”
ujarku pelan.
“kasian banget ya gue dilupakan sahabat
kecilnya gitu aja. Padahal gue baru pertama kali ngeliat dia langsung ngenalin
dia. Ckckckckc” kakak senior itu geleng-geleng kepala.
“sahabat kecil” ucapku pelan.
“iya sahabat kecil. Loe punya sahabat
kecilkan. Yang pindah ke Singapore
12 tahun yang lalu?” tanyanya lagi.
Otakku kembali membuka memori lamaku,
sedetik kemudian aku tersenyum dan menyebutkan satu nama “Alvin...”
Kakak senior itu tersenyum lebar “akhirnya
ingat juga loe” ucapnya.
“loe beneran Alvin. Alvin Jonathan gue? Upss....” aku
keceplosan menutup mulutku dengan kedua tanganku.
Alvin
–kakak senior itu- mamandangku jahil, “apa tuh maksudnya Alvin Jonathan gue?
Perasaan gue bukan punya siapa-siapa deh”
“ahh.... Alvin nyebelin deh”
“hahahaha..... loe ga kengen sama gue? Ga
pengen meluk gue gitu?” tanyanya seraya membuka kedua tangannya lebar-lebar.
Aku berhambur kedalam pelukkannya
melepaskan kerinduan selama 12 tahun tak berjumpa.
Aku meregangkan pelukanku dan mendongakkan kepala
ku, “loe kok ga bilang-bilang sih udah balik ke Indonesia?”
“loe juga kenapa ga bilang-bilang kalo udah
pindah dari Bandung?”
aku nyengir kuda.
“sorry... oya sejak kapan loe di Jakarta?”
“hmm.... 6 bulanan kayaknya” aku merengut.
“ah.... lama amat. Iss... gue kangen banget
tau ga sama loe. Trus tadi kok loe ngenalin gue? Gue aja ga ngenalin loe?”
tanyaku penasaran.
Alvin
senyum “loe ga punya kaca ya di rumah? Muka loe itu ga ada perubahan banyak
dari kecil. Tetap aja jelek, hehehehe” aku mencubit pelan pergelangan
tangannya.
“loe tuh yang jelek makanya gue ga ngenalin
loe”
“eh, mumpung loe lagi dandan ala penghuni
RSJ gini mending kita foto yukk...” ajaknya sekalian ngeledek aku.
“alah, bilang aja pengen foto sama artis.
Guekan sebelas duabelas gitu sama selena gomes” nasisku.
“narsis banget loe. Udah liat tuh kamera,
1... 2... 3... ciieessssss” satu foto berhasil ku abadikan.
*
Aku tersenyum memandang dua anak manusia
itu. Saat itu penampilan ku sangat-sangat buruk, dan berbanding terbalik dengan
orang yang berfoto bersama ku. Dia terlihat tampan dengan senyuman khasnya.
Ku buka lagi lembar berikutnya, terdapat
fotoku dan Alvin
ketika berada dipantai. Alvin
tahu kalau aku sangat menyukai pantai, maka dari itu ia mengajakku ke pantai
saat itu.
Ku sentuh permukaan foto itu dan senyum
kembali menghiasi wajah ku. Memoriku kembali mengulang masa itu.
*
Kakiku melangkah santai menuju perpustakaan
sekolah. Aku ingin mengembalikan buku yang ku pinjam tempo hari dari
perpustakaan itu. Tak lama terdengar seseorang meneriakkan nama ku, dan kakiku
berhenti melangkah kemudian aku membalikkan badanku menoleh arah asal suara.
Aku tersenyum ketika tahu siapa yang
meneriakkan nama ku. Alvin.
Yap, dia orangnya.
“Viaa...” tubuhnya semakin lama semakin
mendekat. Aku tetap diam ditempat.
“Vi, nanti sore loe ada acara ga?” tanyanya
setelah tepat berdiri dihadapan ku.
Aku menggeleng “ga ada. Emang kenapa?”
“nanti sore gue jemput jam 4 sore. Gue mau
ngajak loe kesuatu tempat” Alvin
tersenyum sebentar dan kembali melangkahkan kakinya meninggalkan ku.
Aku menggelengkan kepalaku pelan ‘dari dulu
sampai sekarang. Sifatnya ga pernah berubah. Selalu memaksakan kehendakknya’.
Aku teringat tujuan awal ku. Aku kembali
melangkahkan kaki ku menuju perpustakaan.
Lonceng pulang sekolah akhirnya berdentang.
Semua murid berhamburan keluar kelas. Akupun tak tinggal diam. Kakiku bergerak
cepat meninggalkan pekarangan sekolah menuju gerbang sekolah dan tak lama pak
Danu datang menjemputku.
Tak terasa waktu berputar sangat cepat. Aku
melihat jam yang tergantung manis didinding kamar ku. 15:55. 5 menit lagi Alvin datang menjemputku.
Aku kembali melihat pantulan diriku dicermin. Sempurna. Aku terlihat sangat
manis walau hanya dengan pakaian sederhana.
TIINNN.... TINNNN....
Itu pasti suara motor Alvin. Aku bergegas meninggalkan kamar ku dan
menuruni anak tangga dengan berlari-lari kecil.
Alvin
tersenyum manis ketika melihatku turun dari lantai dua rumahku. Ketika aku
datang Alvin
tengah duduk bersama mamaku diruang tamu. Akupun menghampiri mereka dengan
senyum merekah.
“sorry Vin, loe udah lama nunggu ya?” tanya
ku basa basi.
“enggak kok” jawabnya singkat, “loe udah
siapkam Vi, berangkat sekarang aja yuk entar kesorean” ajak Alvin.
“yaudah... hati-hati ya Vin bawa motornya.
Tante titip Via” ujar mamaku.
“sipp. Tante tenang aja, Via aman kok sama
Alvin” sahut Alvin
sambil mengacungkan jempolya.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum mendengar
celotehannya “yaudah ma, Via sama Alvin
pergi dulu ya”
Mamaku mengangguk “Hati-hati”
Motor Alvin
melaju dengan kecepatan normal. 10 menit selama diperjalanan kami diam, tak ada
yang membuka pembicaraan.
Tak lama Alvin membuka helm fullfacenya “Vi, loe ga
pegangan? Ntar jatoh loe” ujar Alvin
sedikit berteriak.
“ga ahh....” tolakku.
“iss.... bandel banget sih, ntar loe jatoh
gue juga yang dimarahi nyokap loe” Alvin
menarik paksa tanganku dan melingkarkannya diperutnya.
Wajahku berubah warna, aku dapat merasakan
itu. Jantungku juga ga bisa diajak kompromi. Huffttt..... rasanya jantungku mau
lepas dari tempatnya. Aduh... perasaan apa ini?
Motor Alvin
berhenti perlahan. Aku dan Alvin turun dari
motor Alvin.
Aku memandang hamparan pasir putih dan laut yang membentang luas dihadapan ku.
Kedua sudut bibirku tertarik keatas dan menimbulkan sebuah senyuman lebar.
“bagus banget Vin. Loe masih ingat aja kalo
gue suka pantai” ujarku senang.
“hehehehe.... iyalah. Apa sih yang ga gue
tau tentang loe” pipiku kembali memanas.
Alvin
menarikku mendekat ke pantai. Ku biarkan kaki ku terkena air pantai. Aku senang
banget bisa datang ketempat ini.
Kurasakan percikan air mengenai permukaan
wajahku dan langsung kupalingkan wajahku mancari siapa yang menyipratkan air
laut itu. Alvin....
Ku lihat dia tertawa ketika wajahku merengut kesal terkena air laut. Tak mau
kalah, aku membelasnya menyipratkan air laut itu ke arahnya. Dan akhirnya
perang airpun terjadi.
Lelah siram-siraman kami memutuskan duduk
ditepi pantai sambil menunggu sunset. Alvin
bergerak merogoh salah satu sakunya dan mengeluarkan handphonenya.
“foto yuk Vi” ajaknya.
Aku mengangguk senang. Aku hampir saja lupa
mengabadikan momen-momen indah ini.
“iya ayukk... hampir aja lupa foto-foto”
seruku senang.
“yee.... maniak foto”
“biarin, wekkkq. Yaudah cepetan fotonya”
Alvin
mengangkat handphonenya.
Jeprreeetttttt
Jeprreeetttttt
Jeprreeetttttt
Kami berfoto-foto dia. Telah banyak pose
kami pertontonkan, dan foto yang terakhir foto yang paling ku sukai. Alvin merangkulku hangat kemudian aku dan Alvin tersenyum manis.
Aku selalu mengingat kejadian itu. Rasanya
takkan mungkin bisa terlupakkan oleh ku. Takkan pernah.
*
Aku tersenyum lebar mengingat kejadian itu,
ingin rasanya mengulang kembali masa-masa itu. ‘Ah.... pengen ngulang lagi’
teriakku dalam hati.
Lembar berikutnya kembali ku buka. Aku
kembali tersenyum melihatnya, dan kejadian itu satu dari beberapa kejadian yang
penting dalam hidupku. Saat itu bermaca-macam perasaan berkecamuk dihatiku,
namun akhirnya rasa bahagia yang teramat kurasan.
Semua orang-orang terdekatku sekongkol
menggerjaiku. Aku yang tak sadar tengah masuk kedalam perangkap mereka
mengikuti alur permainan mereka. Huffttt.... saat itu perasaan sedih, kesal,
jengkel, marah, takut, terharu, senang menyatu menjadi satu. Dan aku tak tahu
bagaimana mengungkapkannya.
Yap... foto itu adalah foto yang diambil
ketika perayaan pesta kejutan ulang tahun untukku. Di dalam foto itu wajahku
penuh dengan krim kue. Padahal menurut ku dari pada dilempar kewajahku yang
imut ini mending dimakan. Bener ga? Hehehehehe.....
*
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku dan
keluargaku menyempatkan untuk sarapan bersama. Ini merupakan salah satu momen
yang sangat kusukai dalam tradisi di keluargaku. Kapan lagi coba kumpul bareng
keluarga, kalau ga saat sarapan seperti ini.
“pagi semuanya.......” sapa ku, namun tak
ada satupun anggota keluarga ku yang menyahuti sapaan ku.
Aku memandang heran kearah mereka dengan
dahi yang berkerut, ‘biasanya pada jawab kalo gue sapa, pada kesambet
ya?’batinku.
Aku sukses mendudukan pantatku dikursi meja
makan. Ku pandangi satu-satu anggota keluargaku. Mulai dari Papa, Mama, Ka Iel,
dan terakhir Acha adikku. Aku semakin bingung, kenapa mereka semua?
“kalian kenapa sih, kok lihat Via
segitunya? Ada
yang aneh ya?” tak ada yang menjawab, mereka kembali sibuk dengan makanan
mereka.
Aku kembali bertanya “ma kenapa sih?”
“Via, kamu ga sadar apa yang telah kamu
lakukan terhadap keluarga kita?” tanya mamaku penuh penegasan disetiap katanya.
Aku semakin bingung, ‘emangnya aku
ngapain?’ batinku bertanya.
“emang Via ngapain ma?” tanya ku.
“udahlah Vi, ga usah banyak ngomong deh
loe. Huhhh.... ma, pa Iel diluan deh. Muak Iel disini” ujar ka Iel yang sedetik
kemudian meninggalkan meja makan.
“Acha juga” susul Acha.
‘kenapa sih mereka?’ bingungku semakin
bertambah.
“Via, papakan ga pernah ngajarin kamu
hal-hal yang burukkan ? kenapa kamu lakuin ini sama keluarga kita? Papa ga
percaya Via tega ngehancurin keluarga kita” ucap papa tegas.
“aduh pa... sumpah Via ga ngerti apa-apa.
Emang ada apa sich?” aku semakin penasaran.
Apa yang telah kulakukan sampai-sampai
seluruh anggota keluarga memandangku benci. Aku tak tahu apa yang telah
kulakukan sampai membuat mereka marah kepada ku. aku ga ngerti.
“Via, apa yang kamu lakuin kemaren sama
Laptop papa? Kenapa file penting papa hilang semua. Trus, kenapa tunggakan ATM
kamu melebihi batas wajar? Hah... jelasin ke papa?” tanya papa sedikit
membentakku.
“WHAT...?”
“cepat jelaskan sama papa” tegas papa.
“Via ga ada ngelakuin apa-apa kok pa. Via
ga negerti sama apa yang papa bilang, sumpah Via ga ngerti” aku hampir menangis
karna tuduhan papa ini.
“Via sebaiknya kamu jujur aja sama papa.
Kemaren pas papa pulang dari kantor kamukan yang megang tas kerja papa, trus
papa suruh antar ke ruang kerja papa. Iyakan?” ujar papaku lagi.
Setetes air mata jatuh dari bola mata ku
“iya Via yang ngantar tas papa, tapi Via ga ngelakuin apa-apa pa” belaku.
“jadi kenapa file penting papa hilang semua
pas papa liat di kantor. Kamu tau dampak kalakuan kamu ini ? Hah.. Tau ga? Kita
hampir aja bangkrut. Itu semua karna kamu. Trus satu lagi, tunggakan ATM kamu
melebihi batas yang bisa papa bayangkan. Dan ini memperparah keuangan kita Via”
murka papaku.
Aku tak pernah melihat papa semarah ini
samaku. Air mataku kembali menetes dengan derasnya. ‘apa yang harus kulakukan’
batinku.
“udah pa, tenang pa. Nanti penyakit jantung
papa kumat” mamaku mencoba menenangkan papa. “Via sebaiknya kamu pergi ke
sekolah sekarang juga. Ntar papa kamu tambah ngamuk liat kamu terus disini”
ujar mamaku dingin tanpa memandang aku.
‘apa ? mama juga ikut memojokkan ku? kenapa
ini bisa terjadi sama ku Tuhan? Aku tak tau kenapa bisa terjadi seperti ini
dikeluarga ku?’ batinku.
Aku melangkah gontai meninggalkan rumahku.
Aku berjalan menuju mobil dan masuk kedalamnya. Aku melirik kearah pak Danu, ia
tampak melirikku dengan tatapan sinis.
‘bahkan pak Danu juga membenciku. Kenapa
ini terjadi Tuhan? Aku merasa tak pernah melakukan semua tuduhan yang
dituduhkan mama papa kepada ku. bantu aku ya Tuhan’
Aku terus meneteskan air mata sepanjang
jalan menuju sekolah. Sesampai disekolah aku menghapus air mataku.
Kakiku mulai melangkah memasuki areal
sekolah dan aku melihat Alvin
diparkiran motor. Aku melangkah menghampirinya, mungkin Alvin bisa memberikan sedikit ketenangan dan
solusi buat ku dalam masalah yang tak pernah kulakukan ini.
Belum sampai aku melangkah ke parkiran
motor, Alvin
berbalik arah dan melihat kearahku. Aku mencoba tersenyum kearahnya, namun apa
yang ku dapatkan? Alvin
menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku berhenti melangkah dan saat
itu juga Alvin
pergi meninggalkanku.
‘cobaan apa lagi ini Tuhan? Kenapa semua
orang yang dekat dengan ku meninggalkanku dan bersikap acuh terhadap ku?’
batinku dan aku kembali menangis.
Aku menghapus air mata ku pelan dan
berjalan meninggalkan parkiran motor menuju ruang kelas ku. Tak lama lonceng
berbunyi yang menandakan proses belajar mengajar segera dimulai.
Saat pelajaran dimulai, fikiranku melayang
entah kemana. Aku tak fokus terhadap materi pelajaran yang disampaikan guruku
hari ini. Hingga tak terasa lonceng istirahat telah berkumandang beberapa menit
yang lalu.
Ku tolehkan kepalaku keluar jendela dan aku
mendapati sosok Alvin berjalan melewati kelasku,
tak ingin membuang waktu aku segera berlari menjumpai Alvin.
Ku tarik tangan Alvin. Dan berhasil. Ia berhenti di depanku
dan berbalik menghadapku, namun raut wajahnya seketika berubah ketika melihat
kalau akulah orang yang telah menarik tangannya. Alvin menghentakkan tangannya kuat hingga
genggaman tanganku terlepas dari tangannya. Aku memandang wajah Alvin sambil mengerutkan
kening.
“loe kenapa sih Vin? Kok ngejauhin gue
gitu?” tanyaku menatap wajah Alvin
namun ia tak mau menatap wajah ku.
“gue ada salah ya sama loe? Kalo ada, gue
minta maaf sama loe. Please, bilang kenapa loe diamin gue?” paksa ku.
Alvin
merengut kesal “Ck. Udahlah Vi, gue bosen liat tingkah loe sekarang. Gue muak.
Tolong sekarang loe tinggalin gue” ucap Alvin
dingin.
Aku kembali meneteskan air mata ku, ‘apa
yang kulakukan, sampai Alvin
mengucapkan kata-kata seperti itu kepada ku?’
“gue ada salah apa sih sama loe Vin? Kasih
tau gue. Please...” mohonku.
Alvin
terus berjalan meninggalkanku, aku tak tinggal diam. Aku mengikuti kemana dia
pergi. Dan Alvin berhenti tepat ditaman pertama kali ia mengenalkan diri
sebagai sahabat kecilku. Aku pun ikut berhenti, kemudian Alvin membalikkan badannya mengahadapku.
“ngapain sih loe ngikuti gue? Ga ada
kerjaan ya loe?” bentaknya.
Aku terkisap. Alvin yang kukenal tak pernah membentak ku
seperti ini. Kini membentakku. Apa yang telah kuperbuat hingga begitu fatal
baginya. Apa?
“please Vin, jawab pertanyaan gue. Loe kenapa
jadi dingin gini sama gue?” tanya ku, air mata ku kian deras menetes hingga
membanjiri pipiku.
“jadi loe ga sadar juga? Gue ga nyangka loe
tega giniin gue. Mana Via sahabat gue yang dulu, yang ga pernah ngecewain gue.
Mana?” aku masih saja nangis dan dengerin ocehan Alvin.
“gue ga nyangka loe berubah Vi. GUE GA
NYANGKA” ucap Alvin
memberi penekanan pada akhir kalimatnya.
“sebenarnya salah gue apa sih Vin. Sumpah
gue bingung banget. Jelasin sama gue” pintaku pada Alvin yang masih berdiri didepan ku dengan
wajah merah padam menahan marah, kecewa atau apalah itu.
“oke. Kemaren loe kemana? Gue udah nunggin
loe dari jam 4 sore sampe jam 12 malam di Cafe tempat biasa kita nongkrong,
tapi loe ga datang-datang juga. Loe udah buat malu gue tau ga. Gue nungguin loe
sampe berjam-jam, sampe-sampe pelayan Cafe itu nyuruh gue pulang karna loe ga
datang-datang. Tus sekarang loe tanya apa salah loe sama gue? Huh...” Alvin menghela napas
sejenak “ trus tadi pagi ka Iel cerita kalo perusahaan bokap loe hampir
bangkrut dan itu semua karna loe yang udah ngilangi file penting bokap loe trus
make ATM ngelebihin batas. Gue ga tau kenapa SIVIA yang gue kenal sekarang
berubah drastis” ucap Alvin
memberi penekanan pada nama ku.
“gue ga pernah tau kalo loe ngajakin gue
ketemuan di Cafe, trus yang di bilang ka Iel itu gue ga ngerasa ngelakuin itu.
Please Vin percaya sama gue. Gue ga pernah ngelakuin apa yang lo tuduhin ke gue
tadi” bantahku pelan.
“gue ga nuduh. Itu semua kenyataannya. GUE
BENER-BENER KECEWA SAMA LOE” ucap Alvin
pelan dan memberi penekatan pada kalimat terakhirnya.
Aku terduduk lemas di kursi taman. Menangis
dan terus menangisi semua yang tak pernah ku lakukan. Aku tak berniat kembali
kedalam kelas. Aku berjalan kearah UKS dan berbaring disana masih dalam keadaan
menangis. Kemudian aku mengetikkan pesan singkat kepada Shilla teman sebangku
ku untuk mengizinkanku kepada guru yang mengajar.
Akhirnya lonceng pulang sekolah benbunyi.
Keadaan sekolah sudah sepi. Aku bangkit dari tidur dan pergi menuju kelas ku,
baru melangkah beberapa langkah Shilla datang menghampiri ku sambil membawa tas
ku.
“Vi loe ga papakan? Bisa pulang sendiri
atau gue anterin pulang?” tawar Shilla.
Aku menggeleng dan tersenyum “ga usah. Gue
udah ga papa kok. Loe pulang aja, gue dijemput kok” tolakku halus.
“yaudah deh. Kalau gitu gue pulang diluan
ya” aku mengangguk kembali.
Huftt..... aku berjalan pelan meninggalkan
lingkungan sekolah dan berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Ternyata pak
Danu sudah menjemputku. Aku menghampiri mobilku dan masuk kedalamnya.
Sepanjang perjalanan aku terus memandang
keluar jendela. Aku tak mengerti mengapa masalah ini bisa menimpahku. Dan yang
membuatku tak percaya semua orang membenciku karna masalah yang tak pernah
kulakukan sebelumnya. Aku hanya bisa pasrah setelah ini. Aku ga tahu apa yang
akan ku lakukan.
Setelah sampai dirumah. Aku berjalan pelan
dan membuka pintu rumahku.
SURPRISSEEEEEEE.........................
Teriakkan itu memenuhi telingaku, bahkan
setelahnya kudengar suara letupan-letupan kecil dan suara terompet. Aku
memandang takjub dihadapanku. Semua anggota keluargaku termasuk Alvin berada dihadapan
ku. Dan ku lihat kesekelilingku, disana sini diberi hiasan.
Aku memandang mereka tak percaya sambil
meneteskan air mata. Kemudian mereka menyanyikan lagu happy brithday untukku.
Tuhan.... Kenapa aku lupa hari ulang tahunku sendiri. Aku terus tersenyum
sambil melangkahkan kakiku menghampiri mereka semua.
Happy brithday Via
Happy brithday Via
Happy brithday, Happy brithday...
Happy brithday Via
Semua bertepuk tangan sambil tersenyum
manis kearah ku. Dan aku baru sadar kalau yang tadi pagi mereka lakukan
terhadap ku hanyalah akting. Semua pura-pura.
“ayo... Make a wish, trus tiup lilinnya”
suruh mamaku seraya mendekatkan kue tart yang dipegang ka Iel kepadaku.
Akupun memejamkan mataku dan mengucapkan
doaku.
‘semoga aku dan orang-orang yang kusayangi
bahagia selamanya. Amin’
Kemudian ku buka mata ku dan ku tiup lilin
yang berada diatas ku tart ku itu.
“selamat ya sayang ,sekarang kamu udah 17
tahun. Semakin dewasa ya sayang” ujar mamaku memelukku dan mencium keningku.
“selamat ulang tahun ya sayang. Maaf ya
tadi pagi marah-mara sama kamu, hehehehe” ucap papaku seraya menariku kadalam
pelukkannya dan mencium keningku.
Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum
dan menangis. Menangis bahagia tentunya.
“VIAAA.... Happy Brithday ya adek ku
sayang. Semoga bawelnya berkurang” ucap ka Iel sambil memelukku erat dan
langsung dapat hadiah cubitan dari ku tepat dipinggangnya.
“Kakak PIA.... selamat ulang tahun ya.
Hehehehe.... Gimana rasanya dikerjai tadi pagi?” tanya Acha sambil memelukku
erat seperti ka Iel.
“Stres banget tau ga. Gue ga tau apa-apa
dituduh macem-macem” gerutuku kesal.
“HAHAHAHA”
Semuanya tertawa mendengar perkataanku.
“non, selamat ulang tahun ya” ucap bi Nani
menjabat tanganku.
“makasih bi”
“neng, Via selamat ulang tahun ya” ucap
mang ujang juga menjabat tangan ku.
Aku tersenyum “makasih mang”
“non, selamat ulang tahun ya” ucap pak
Danu, “maaf ikutan Sinisin non tadi pagi, hehehehe”
“makasih pak, ga papa kok. Via seneng bisa
dapat kejutan dari kalian semua” ujarku masih dengan senyum merekah.
“Vi, loe mau tau siapa yang ngerencanain
ini semua?” aku mengangguk pasti.
“tuh, dibelakang loe orangnya” akupun
berbalik dan melihat Alvin
nyengir gaje dibelakangku.
Aku langsung menatap Alvin dengan tatapan mematikan “awas loe Vin,
diterkam singa betina” celetuk ka Iel.
Aku ga menggubris. Aku tetap terus berjalan
kedepan menghampiri biang kerok dari semua ini “ kenapa loe senyam-senyum gitu?
Puaskan loe ngerjain gue?” ujarku sinis.
“hehehehe, sorry sengaja”
“Ahhh.......... Alvin loe tau ga betapa tersiksanya gue
gara-gara kerjaan loe?” aku mencak-mencak ditempat dan ku dengar cekikikan
kecil dibelakangku.
“hiks... hiks... gue tadi takut banget tau
ga pas loe bentak-bentak gue di sekolah” tangis ku sambil memeluk tubuh Alvin. “gue kira loe
beneran marah sama gue. Padahalkan loe dari kemaren ga ada sms ataupun telpon
gue bilang ketemuan di Cafe biasa kita nongkrong hiks...” Alvin mengelus pelan kepala gue.
“hehehe... Sorry ya Vi” ucap Alvin.
“ehmm.... enak banget nih ka Via dipeluk ka
Alvin. Achakan
juga pengen dipeluk”
“yeee..... ngarep loe” ujar ka Iel sambil
noyor kepala Acha.
“sakit tau” gerutu Acha memegangi kepalanya
yang ditoyor ka Iel.
Akupun melepas pelukkan ku dari Alvin, “eh, Vi kuenya kok
ga dipotong sih?” tanya ka Iel.
“yeee.... Bilang aja loe lapar ka”
“hehehe... tau aja loe Vi”
“nih ka potong” akupun memoton kuenya dan
potong pertama ku kasih sama mama papaku.
Aku kembali ingin memotong kuenya tapi
dengan kecepatan kilat tangan Alvin
menubrukkan kue tart itu ke wajahku. Alhasil wajah ku nan cantik ini penuh
dengan krim kue.
“Aahhhhhhh....... ALVVINNNNNN” teriakku,
“awas loe” sambungku.
Dan jadilah perang kue antara aku, ka
Iel,Acha dan Alvin
tentunya. Kemudian papa mengambil kameranya.
“foto dulu yuk” ajak papaku.
“yah papa, kok ga dari tadi sih pas Acha
masih cantik. Sekarangkan udah kayak orang gila, baru papa ajak Foto” gerutu
Acha.
Aku terkekeh pelan “udah ayo foto. Tetap
cantik kok loe Cha, walau cantikan gue” narsisku.
“huhhh................”
Beberapa foto sukses masuk kedalam memori
kamera yang papa pegang. Dan ini perayaan ulang tahun paling berkesan
menurutku. Aku bahagia.......
*
Senyumku kian merekah mengingat kejadian
itu. Aku makin sayang sama seluruh anggota keluarga ku.
Kembali ku buka lembar album foto itu.
Wajahku berubah menjadi sendu mengingat foto itu. Foto itu adalah foto terakhir
kalinya aku berjumpa dengan Alvin.
Foto dimana pengumuman kelulusannya. Saat itu aku dan Alvin
tersenyum lebar, dimana Alvin
dengan bangganya menjulurkan kertas yang bertuliskan kata “LULUS” kedepan
kamera menggunakan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya merangkulku. Dan
itu terjadi 4 tahun yang lalu sebelum ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya
di London.
Aku rindu senyumnya, aku rindu bau
tubuhnya, aku rindu semua yang ada didirinya dan aku ingin menjawab pertanyaan
terakhirnya sebelum keberangkantannya ke London.
*
“YEEE.... GUE LULUS” teriak Alvin ketika membaca surat
yang berada ditangannya.
Aku yang melihat tingkahnya hanya
tersenyum. Sedetik kemudian Alvin
menarikku kedalan pelukkannya.
“Vi gue lulus, gue lulus” ucapnya lagi.
Aku tersenyum dan mengangguk “iya Selamat
ya” ujarku memberi selamat.
“oya, foto yuk” ajak Alvin dan aku hanya mengaguk senang.
“eh, Ko fotoin gue bentar dong” Alvin memberikan
kameranya kepada Riko teman sekelasnya.
Jepretttttt
“narsis banget gaya loe Vin” ujar Riko sambil mengembalikan
kameranya.
Aku dan Alvin tersenyum melihat foto itu. Kemudian
Alvin menyimpan kembali kameranya. Dan senyum Alvin memudar seketika.
“loe kenapa? Kok sedih gitu? Seharusnya loe
senang dong. Aneh loe” cetusku heran melihat pria yang berdiri dihadapanku ini.
“gue seneng kok bisa lulus, tapi...
tapi...”
Aku mengertkan kening “tapi apa Vin?” tanya
ku penasaran.
“emm Vi, loe jangan marah ya”
Aku semakin bingung “kenapa sih? Ga usah
bikin gue tambah bingung deh” desakku.
“beberapa minggu yang lalu nyokap bokap gue
nyuruh gue ngelanjutin kuliah gue di London”
ucap Alvin
pelan.
What...... Berarti Alvin bakal ninggalin
gue lagi dong. Akupun menggeleng pelan dan menahan air mata ku meluncur keluar.
“ga... ga... loe ga ga boleh ninggalin gue
lagi. Udah cukup loe ninggalin gue 12 tahun” tolakku “trus sekarang loe mau
pergi lagi ninggalin gue. Loe tega banget ninggalin gue Vin. Gu benci sama loe.
BENCI” aku berlari meninggalkan Alvin
dan pergi mencari taksi dan pulang kerumahku.
Sepanjang perjalanan aku menangis dan tak
lama ketika sampai di rumahku, aku berlari kedalam kamar ku sambil sesekali
menyekah air mata ku. Mamaku yang melihatku nangis heran.
“Vi, kamu kenapa sayang kok nangis gitu?”
tanya mamaku sambil mengetuk pelan pintu kamarku.
Aku tak menyaut tetap menangis sambil
memeluk gulingku. Kemudian terdengar suara Alvin dibalik pintu seraya mengetuk-ngetuk pelan
pintu kamarku.
“Vi, buka dong pintunya. Gue mau ngomong
sama loe” pinta Alvin,
“loe jangan gini dong. Please bukain pintunya” sekali lagi Alvin berucap.
aku tetap menangis diatas tempat tidurku
tanpa berniat membukakan pintu untuknya, “loe jahat Vin, jahat. Kenapa loe mau
ninggalin gue lagi. Loe ga tau apa perasaan gue ke loe gimana? Loe jahat Vin”
gumamku pelan.
“yaudah kalo loe ga mau bukain pintunya.
Gue Cuma mau bilang besok pesawat gue berangkat jam 8 pagi. Dan gue harap loe
mau datang ketemu sama gue untuk yang terakhir kalinya” ucap Alvin
dan setelah itu tak terdengar lagi suara Alvin
dibalik pintu.
Tangisku semakin kuat “gue ga mau loe pergi
Vin. Please ngertiin gue”.
Sejak semalam aku ga keluar kamar dan pagi
ini kudengar ka Iel ngetuk pintu kamarku, “Vi loe ga mau ke bandara nemuin Alvin?” tanyanya.
Aku diam tak menyahut “Vi, ini terakhir
kalinya loe bakal ketemu sama Alvin. Please Vi loe keluar ya” pinta ka Iel dan
aku masih diam bergeming.
“oke. Kalau itu memang keputusan loe gue ga
akan bujuk loe lagi. Gue, Acha sama Papa Mama kebandara dulu nganter Alvin”
Aku bingung. Disatu sisi aku ga ingin Alvin meninggalkan ku dan dilain sisi aku ingin melihat Alvin walau untuk yang
terakhir kalinya. Dan aku bergegas ke kamar mandi mencuci muka ku dan mengganti
pakaianku. Kemudian berlari keluar rumah.
‘Semoga saja mereka belum berangkat ke
bandara’
Bantinku benar “tunggu gue ikut” teriakku.
Aku langsung masuk kedalam mobil dan
sedetik kemudian mobil yang dikendarain papaku melaju dengan kecepatan normal.
Aku yang tak sabar ingin cepat sampai dibandara mendesak papaku untuk menambah
kecepatan.
30 menit kemudian kami sampai dibandara.
Aku berlari mencari keberadaan Alvin.
Dimana dia? Semoga aku tak terlamabat. Aku terus berlari dan sosok yang kucari
tengah berdiri tegap melihat karah ku.
Aku langsung berlari kearahnya dan mendekap
tubuhnya erat, “akhirnya loe datang Vi. Gue kira loe ga bakalan datang ngeliat
gue?”
“sorry gue egois sama loe. Sorry” ucap ku
menangis sesenggukan.
“ga papa kok. Gue ngerti sama perasaan loe.
Karna sejujurnya gue berat ninggalin loe. Gue berat banget ninggalin kepingan
hati gue di sini” aku terdiam dan melepaskan pelukkan ku.
Aku menatap Alvin bingung, apa maksudnya coba?
Alvin
tersenyum kearah ku. Ditarikknya kedua tanganku dan digenggamnya erat “sorry,
selama ini gue udah diam-diam suka sama loe. Buka suka tapi CINTA. Gue cinta
sama loe” aku terdiam terpaku mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Alvin “gue udah mendam
perasan ini sejak lama, sejak kita pertama kali dipertemukan kembali disekolah.
Dan disini gue mau bilang sama loe kalo gue cinta banget sama loe. Loe mau ga
jadi cewek gue?”
Aku terdiam. Tak sanggup berkata apa-apa.
Aku ga percaya kalau perasaan ku dan Alvin
sama.
“dan loe ga perlu jawabnya sekarang. 4 tahun
lagi gue bakal balik kesini dan disaat itu loe jawab pertanyaan gue. Loe maukan
nunggu gue? Loe maukan?” aku menganggukan kepala ku pasti.
“yaudah, sekarang gue pergi ya. Loe
baik-baik ya selama ga ada gue disini” aku hanya bisa mengangguk.
Alvin
menarikku ke dalam pelukkannya dan mengecup kening ku mesra. Kemudian
dilepaskannya pelukkannya dan pergi dengan menggeret koper besarnya
meninggalkan ku. Ia melambaikan tangannya dan ku balas dengan lambaian tangan
ku dan sesekali menghapus air mata yang menetes dipipiku.
*
Hufftttttt.... ini sudah 4 tahun. Dan
sampai sekarang Alvin
belum jua menampakkan batang hidungnya. Apa ia tak tahu betapa rindunya kau
terhadapnya. Sekian lama aku setia menunggunya dan sampai sekarang ia tak
muncul-muncul.
‘Apa kau melupakan janji mu Vin?’
Drrtttttt
Handphone ku bergetar. Kuraih benda mungil
itu, ternyata ada pesan masuk. Kulihat siapa pengirimnya. Tak ada di Phonebook
ku.
---
From: 08**********
Gue tunggu loe di taman dekat danau
komplek rumah loe sekarang J
---
“siapa sih ini? Ga jelas banget deh?” ku
campakkan pelan handphone ku kembali keatas ranjang ku, namun perasaan
penasaranku begitu kuat.
“hadehhh..... Kenapa gue penasaran ya.
Mending gue ke sana
deh dari pada penasaraan” putusku.
5 menit kemudian aku sampai di taman itu,
‘Mana orang yang ngirim sms itu?’ batinku.
Pandanganku menyapu seluruh area yang dapat
dijangkau pupil mataku, “huh.... awas aja ni orang ngerjain gue. Ga bakalan
selamat dia sama gue” kesalku.
“gue ga ngerjain loe kok” terdengar suara
orang yang selama ini aku rindukan.
‘Alvin’
batin ku.
Aku membalik badan ku, dan seketika itu
juga tubuhku kaku tak bisa digerakkan. ‘benarkah ini? Aku ga lagi
mengkhayalkan?’ batinku tak percaya.
“Hello....... Via loe ga kangen apa sama
gue? Dipeluk kek guenya” sedetik kemudian aku telah berada didalam pelukan
orang yang sangat aku rindukan.
“loe kok baru pulang sekarang sih? Lama
amat? Loe ga kasian liat gue tiap hari nungguin loe, hah.....?” ucap ku menahan
air mata.
“hehehehe, sorry ya sayang”
“sayang? Emang gue siapa loe. Enak aja pake
sayang-sayang segala” hardikku dan melepaskan pelukkanku.
“oiya ya...” ucapnya sambil garuk belakang
telinganya.
“oke. Hmm....” Alvin menarik napasnya sejenak.
”Vi, gue udah nepatin janji gue ke elo. Dan
gue disini ingin ngungkapin lagi perasaan gue ke loe” Alvin merogoh saku celana jenasnya dan
mengeluarkan kotak berwarna merah dan membukanya kemudian menjulurkannya
dihadapanku “Sivia Azizah, Will you marry me?” tanyanya.
Aku terbelalak memandangnya, “dulu pas
dibandara gue nembak loe sebagai pacar gue dan sekarang gue datang ngelamar loe
jadi istri gue. Kamu mau ga jadi pendamping hidupku sekarang, esok dan
selamanya?” tanyanya yakin.
Aku menganggung-anggukkan kepalaku “Yes, I
will” akku meneteskan air mataku.
Alvin
tersenyum dan berdiri kemudian memelukku erat “aku mau Vin. Aku mau jadi istri
kamu” ucap ku lagi.
“makasih Vi. Aku sayang banget sama kamu”
“aku juga. Jangan tinggalin aku lagi ya”
“iya aku janji ga akan ninggalin kamu lagi”
Akhirnya aku dan Alvin kini bersatu. Aku ga nyangka perjalanan
cintaku akan berakhir bahagia dengan Alvin.
Aku senang banget..........
Semoga kebahagiaan ini takkan pernah luntur
seiring berjalannnya waktu.
-END-